dulcetsix.

Menurut kalian, apa sih yang ada di pikiran seorang mahasiswi semester tujuh yang lagi sibuk sibuknya overthinking perkara skripshit dan segala kegiatan organisasi di kampus, jatuh hati bahkan bucin sama seorang artis? Lebih tepatnya anak band, sih.

Gue, sebut saja Vivi, saat ini lagi terjebak di satu situasi di mana ketika seharusnya sisa-sisa waktu senggang yang gue punya digunakan untuk mengistirahatkan fisik serta pikiran gue, malah gue pergunakan buat bucinin orang yang bahkan nggak suka bahkan menjurus ke benci sama gue.

Brian Kusumawardani namanya. Bassist 6/7 Days, temen sekampus bahkan sekelas gue di nyaris semua matkul, yang bikin gue jadi head over heels sama dia selama dua tahun terakhir—alias dari awal band mereka terbentuk.

Gue selalu ikutin jadwal manggung mereka, gue selalu request lagu mereka buat diputar di radio kampus dari jaman mereka baru rilis single pertama di soundcloud. Pokoknya gue selalu dukung mereka sebisa dan semampu gue.

Tapi bener kata Nadin di lagu Seperti Tulang, bahwa hidup berjalan seperti bajingan.

Bajingannya adalah bukan karena Brian nggak tau kalo salah satu die-hard fans ada di radius 5 meter dari tempat dia duduk biasanya di kelas atau patah hati tiap liat dia bermesraan di lingkungan kampus, bukan.

Tapi karena gue udah terlanjur jatuh hati sama Brian dan gue harus menerima kenyataan kalau gue dimusuhi sama crush gue sendiri.

Atau gue jadi skeptis, mungkin Brian udah bukan nggak suka lagi, tapi udah ada di tahap benci sama gue.

Tapi yang lebih sedihnya lagi tuh, gue nggak tau apa yang menjadikan Brian sebegitu nggak sukanya sama keberadaan gue di kelas.

Diawali dengan satu kejadian, di mana dia datang terlambat di satu mata kuliah yang dosennya super duper galak dengan kemeja lecak, tas yang disampirin di satu bahunya aja dan rambut setengah basah yang dia biarkan berantakan tanpa sentuhan sisir, dan rasanya saat itu juga gue pengen banget teriak dan peluk dia di tempat dia berdiri, yaitu di ambang pintu kelas yang baru dia buka.

Namun terkutuklah sistem motorik gue yang lamban, sehingga yang gue bisa lakuin waktu itu cuma bengong, diem dan natap dia tepat di matanya sambil menahan gejolak untuk teriak dari dalam diri gue kuat-kuat.

Lalu entah itu sebuah keberuntungan atau malah kesialan, mata gue sama dia nggak sengaja bertubrukan dan kedua mata jahanam gue ini nggak mau berpaling sama sekali.

Dan kalian tau apa reaksi Brian setelah momen tiga detik aksi tatap menatap itu?

Baca baik-baik ya,

Dia. Malah. Berdecih. Sambil. Natap. Gue. Sinis. Seolah-olah gue ini sampah yang menjijikan dan perlu segera dibinasakan.

Sumpah, gue inget jantung gue berhenti untuk sepersekian detik waktu itu. Gue masih inget banget perasaan gue kala itu, gue yang shock sekaligus bingung. Masalahnya apa salah gue? Kenapa dia kok kayak gitu ke gue?

Dan kenapa lagi, bahkan setelah semua sikap dia yang dengan jelas menunjukan kalau dia nggak suka sama gue, gue tetap nggak bisa lepasin diri gue dari pesona dia? Atau at least, move on ke anggota lain, kek.

Mungkin bagi para fans yang lain, berada di dekat idolanya adalah salah satu pencapaian hebat.

Tapi kalau mereka ada di posisi gue, apa mungkin mereka masih punya pemikiran yang sama?

Bayangin deh, gimana rasanya artis yang kalian idolakan itu ada di sekitar kalian, tau kalian hidup, tapi dia malah benci sama kalian?

Maka dari itu, gue membuat akun pacarbrian supaya gue bisa fangirlingan dengan tenang dan memposisikan diri sebagai “penggemar” biasa dengan mengesampingkan fakta yang ada.

Yah, semoga aja takdir nggak akan mainin gue lebih jauh ke depannya.

“Brian, stop. Please, I insist.” Gadis itu memohon sambil berbisik pelan, berharap laki-laki yang baru saja mendorong punggungnya ke dinding putih nan dingin itu mau mengabulkan pintanya, untuk berhenti sejenak dan menormalkan isi kepalanya.

Namun rengekan permohonannya itu rupanya hanya dianggap angin lalu oleh sang bassist. Hidung lancipnya serta bibir tipisnya masih ada di ceruk leher sang gadis, masih menghisap, mengecup, menjilat, merasakan panas kulit gadis itu dengan alat pengecapnya sendiri.

Belum lagi tangannya yang bebas dibiarkan berkelana di atas kulit di bagian tubuhnya yang lain. Dan sialnya lagi, gadis itu menikmati.

Kepalanya terlempar ke belakang, tidak peduli akan sakitnya benturan yang baru saja kepalanya rasakan, yang ia pedulikan hanyalah nikmat yang semakin lama semakin ia kejar.

Ia melengkungkan punggungnya, mendesahkan nama sang pemangsa di depannya, menjambak rambutnya pelan, dan kini ia tidak mungkin berbohong, ia suka sentuhan-sentuhan itu. Gawatnya lagi, rasa suka itu berganti jadi rasa mendamba, dan ia sendiri harusnya tahu bukan begini cara kerjanya.

Maka dari itu, ia berusaha menggunakan sisa-sisa saraf otaknya yang bekerja normal untuk melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

“Br-Bri... Udah, ple—nghh—ase... Please stop... I have a fucking boyfriend and he’s your own band mate. Please—ahhh, shit. Bri udah please,”

Brian yang sedaritadi melakukan aktivitasnya dalam diam dan seakan-akan tuli atas segala permintaan gadis di kurungannya itu kini terdiam. Mata tajamnya menusuk pengelihatan gadis di depannya, nafasnya masih memburu, dan tubuhnya masih setia menghimpit dan mengurung si gadis tanpa ampun.

Hanya sekarang ini mulutnya mampu membuka dan berbicara, “Look. I don’t fucking care whether you have a boyfriend or not. All I care is you. All I ever care is only you, and it has always been you. Lo kayaknya emang gapernah mau liat gue, ya? Gue yang selalu bisa ada buat lo, gue yang selalu bisa terbangin lo ke langit ke tujuh, dan gue yang selalu bisa lo mintai pertolongan. Tapi kenapa setiap lo seneng lo lupain gue?”

Ada nada kesedihan di sana.

“Brian, lo itu terlalu baik-“

Bullshit.” Lelaki itu memotong kalimat si gadis, kemudian tangannya bergerak untuk membelai pipi gadisnya pelan. “Kalo emang gue baik, why wouldn’t you choose me? Hm?

“Ga bisa Bri... I love Jae.”

Sementara tangan kanannya membelai pipi gadis itu, kini tangan kirinya bergerak menuju leher jenjang si gadis, untuk kemudian mengeratkan cengkeramannya di sana. She loves to get choked up, and he knows it well.

I know you’re enjoying this. I know it. Now think of it again, you want me or nah? Just think about it, don’t mind the other else. If you want to keep me going, just kiss me on the lips. And if you don’t,” Brian menggantungkan kalimatnya, kemudian tersenyum miring dengan bibirnya yang kini sudah dilumat secara kasar oleh gadis di depannya.

“Brian, stop. Please, I insist.” Gadis itu memohon sambil berbisik pelan, berharap laki-laki yang baru saja mendorong punggungnya ke dinding putih nan dingin itu mau mengabulkan pintanya, untuk berhenti sejenak dan menormalkan isi kepalanya.

Namun rengekan permohonannya itu rupanya hanya dianggap angin lalu oleh sang bassist. Hidung lancipnya serta bibir tipisnya masih ada di ceruk leher sang mangsa, masih menghisap, mengecup, menjilat, merasakan panas kulit gadis itu dengan alat pengecapnya sendiri.

Belum lagi tangannya yang bebas dibiarkan berkelana di atas kulit di bagian tubuhnya yang lain. Dan sialnya lagi, gadis itu menikmati.

Kepalanya terlempar ke belakang, tidak peduli akan sakitnya benturan yang baru saja kepalanya rasakan, yang ia pedulikan hanyalah nikmat yang semakin lama semakin ia kejar. Melengkungkan punggungnya, mendesahkan nama sang pemangsa di depannya, menjambak rambutnya pelan, rupanya ia suka sentuhan-sentuhan itu. Gawatnya lagi, rasa suka itu berganti jadi rasa mendamba, dan ia sendiri harusnya tahu bukan begini cara kerjanya.

Maka dari itu, ia berusaha menggunakan sisa-sisa saraf otaknya yang bekerja normal untuk melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

“Br-Bri... Udah, ple—nghh—ase... Please stop... I have a fucking boyfriend and he’s your own band mate. Please—ahhh, shit. Bri udah please,”

Brian yang sedaritadi melakukan aktivitasnya dalam diam dan seakan-akan tuli atas segala permintaan gadis di kurungannya itu kini terdiam. Mata tajamnya menusuk pengelihatan gadis di depannya, nafasnya masih memburu, dan tubuhnya masih setia menghimpit dan mengurung si gadis tanpa ampun.

Hanya sekarang ini mulutnya mampu membuka dan berbicara, “Look. I don’t fucking care whether you have a boyfriend or not. All I care is you. All I ever care is only you, and it has always been you. Lo kayaknya emang gapernah mau liat gue, ya? Gue yang selalu bisa ada buat lo, gue yang selalu bisa terbangin lo ke langit ke tujuh, dan gue yang selalu bisa lo mintai pertolongan. Tapi kenapa setiap lo seneng lo lupain gue?”

Ada nada kesedihan di sana.

“Brian, lo itu terlalu baik-“

Bullshit.” Lelaki itu memotong kalimat si gadis, kemudian tangannya bergerak untuk membelai pipi gadisnya pelan. “Kalo emang gue baik, why wouldn’t you choose me? Hm?

“Ga bisa Bri... I love Jae.”

Sementara tangan kanannya membelai pipi gadis itu, kini tangan kirinya bergerak menuju leher jenjang si gadis, untuk kemudian mengeratkan cengkeramannya di sana. She loves to get choked up, and he knows it well.

I know you’re enjoying this. I know it. Now think of it again, you want me or nah? Just think about it, don’t mind the other else. If you want to keep me going, just kiss me on the lips. And if you don’t,” Brian menggantungkan kalimatnya, kemudian tersenyum miring dengan bibirnya yang kini sudah dilumat secara ganas oleh gadis di depannya.

“Brian, stop. Please, I insist.” Gadis itu memohon sambil berbisik pelan, berharap laki-laki yang baru saja mendorong punggungnya ke dinding putih nan dingin itu mau mengabulkan pintanya, untuk berhenti sejenak dan menormalkan isi kepalanya.

Karena menurut gadis itu yang ada di depannya kini bukan Brian sang bassist band yang sudah tiga tahun belakangan ia urusi segala keperluannya, melainkan seekor binatang buas yang siap memangsa dan mencabik-cabik lawannya dalam hitungan detik. Untuk kasus ini, Al lah yang harus bersiap untuk ‘dimangsa’ Brian, sang binatang buas. Al sang managernya lah yang harus bersiap untuk dijadikan mangsanya.

Namun rengekan permohonannya itu rupanya hanya dianggap angin lalu oleh sang bassist. Hidung lancipnya serta bibir tipisnya masih ada di ceruk leher sang mangsa, masih menghisap, mengecup, menjilat, merasakan panas kulitnya di alat pencecapnya sendiri.

Belum lagi tangannya yang bebas dibiarkan berkelana di atas kulit di bagian tubuhnya yang lain. Dan sialnya lagi, gadis itu menikmati.

Kepalanya terlempar ke belakang, tidak peduli akan sakitnya benturan yang baru saja kepalanya rasakan, yang ia pedulikan hanyalah nikmat yang semakin lama semakin ia kejar. Melengkungkan punggungnya, mendesahkan nama sang pemangsa di depannya, menjambak rambutnya pelan, rupanya ia suka sentuhan-sentuhan itu. Gawatnya lagi, rasa suka itu berganti jadi rasa mendamba, dan ia sendiri harusnya tahu bukan begini cara kerjanya.

Maka dari itu, ia berusaha menggunakan sisa-sisa saraf otaknya yang bekerja normal untuk melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

“Br-Bri... Udah, ple—nghh—ase... Please stop... I have a fucking boyfriend and he’s your own band mate. Please—ahhh, shit. Bri udah please,”

Brian yang sedaritadi melakukan aktivitasnya dalam diam dan seakan-akan tuli atas segala permintaan gadis di kurungannya itu kini terdiam. Mata tajamnya menusuk pengelihatan gadis di depannya, nafasnya masih memburu, dan tubuhnya masih setia menghimpit dan mengurung si gadis tanpa ampun.

Hanya sekarang ini mulutnya mampu membuka dan berbicara, “Look. I don’t fucking care whether you have a boyfriend or not. All I care is you. All I ever care is only you, and it has always been you. Lo kayaknya emang gapernah mau liat gue, ya? Gue yang selalu bisa ada buat lo, gue yang selalu bisa terbangin lo ke langit ke tujuh, dan gue yang selalu bisa lo mintai pertolongan. Tapi kenapa setiap lo seneng lo lupain gue?”

Ada nada kesedihan di sana.

“Brian, lo itu terlalu baik-“

Bullshit.” Lelaki itu memotong kalimat si gadis, kemudian tangannya bergerak untuk membelai pipi gadisnya pelan. “Kalo emang gue baik, why wouldn’t you choose me? Hm?

“Ga bisa Bri... I love Jae.”

Sementara tangan kanannya membelai pipi gadis itu, kini tangan kirinya bergerak menuju leher jenjang si gadis, untuk kemudian mengeratkan cengkeramannya di sana. She loves to get choked up, and he knows it well.

I know you’re enjoying this. I know it. Now think of it again, you want me or nah? Just think about it, don’t mind the other else. If you want to keep me going, just kiss me on the lips. And if you don’t,” Brian menggantungkan kalimatnya, kemudian tersenyum miring dengan bibirnya yang kini sudah dilumat secara ganas oleh gadis di depannya.

Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan yang saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.

Perih.

Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya tak berhenti untuk merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.

Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.

Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.

Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang tiba-tiba dengan sigap menahan kepalanya di sana.

“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri dan segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.

“Lo... Ng-ngapain di sini...”

“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.

“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”

“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”

“Iya maaf...” Suaranya masih lemah, tapi kini ia berani menatap Jentera di matanya, walaupun tatapannya masih kosong dan penuh keraguan. “Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”

Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”

“Oh iya... Oke...”

“Ga usah geer jadi orang.”

“Iya...”

“Ga usah nangis lagi.”

Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan halusnya saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.

Perih.

Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya belum berhenti merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.

Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.

Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.

Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton yang di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang mengganjal kepalanya di sana.

“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri untuk segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.

“Lo... Ng-ngapain di sini...”

“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.

“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”

“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”

“Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”

Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”

“Oh iya... Oke...”

“Ga usah geer jadi orang.”

“Iya...”

“Ga usah nangis lagi.”

“...”

Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan halusnya saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.

Perih.

Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya belum berhenti merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.

Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.

Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.

Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton yang di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang mengganjal kepalanya di sana.

“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri untuk segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.

“Lo... Ng-ngapain di sini...”

“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.

“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”

“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”

“Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”

Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”

“Oh iya... Oke...”

“Ga usah geer jadi orang.”

“Iya...”

“Ga usah nangis lagi.”

“...”

Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan halusnya saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.

Perih.

Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya belum berhenti merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.

Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.

Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.

Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton yang di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang mengganjal kepalanya di sana.

“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri untuk segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.

“Lo... Ng-ngapain di sini...”

“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.

“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”

“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”

“Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”

Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”

“Oh iya... Oke...”

“Ga usah geer jadi orang.”

“Iya...”

“Ga usah nangis lagi.”

“...”

Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan halusnya saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.

Perih.

Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya belum berhenti merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.

Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.

Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.

Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton yang di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang mengganjal kepalanya di sana.

“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri untuk segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.

“Lo... Ng-ngapain di sini...”

“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.

“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”

“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”

“Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”

Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”

“Oh iya... Oke...”

“Ga usah geer jadi orang.”

“Iya...”

“Ga usah nangis lagi.”

“...”

Brian.

Gue menatap kosong figur yang lagi duduk di sebelah gue sambil menyusun kata-kata yang akan gue ucapkan ke dia nantinya. Gue takut gue akan salah bicara atau gimana karena jujur aja, walaupun samar, tapi ada ekspresi ‘kalah’ yang sempat mampir di paras cantiknya tadi.

Tapi dibalik munculnya ekspresi itu gue juga nggak tau apa alasan persisnya. Mungkin dia merasa sedikit tersudutkan dan sempat merasa dikalahkan sama Vina yang memang gue akui dia licik banget.

Mungkin itu yang menginjak-injak perasaan Stefi sampai ekspresi itu muncul—walaupun nggak begitu nampak.

Kami berdua sekarang lagi terduduk di area luas di dekat mulut gerbang, dekat food stalls dan booth foto sambil menikmati penampilan si Cici Cantik Danilla dari kejauhan. Untung tertolong layar tancep juga sih, jadi masih bisa menikmati penampilan dia walaupun nggak dari dekat.

Kedua kaki Stefi yang beralaskan sepatu Vans Old Skool belelnya menendang-nendang kerikil di aspal yang sedang kami berdua duduki saat ini. Tatapannya lurus ke depan, entah lagi menikmati Distraksi-nya Danilla atau ngapain gue nggak tahu, yang jelas tatapannya kosong.

“Lo tau ga sih, Bri? Gue berasa tolol banget tadi.”

Gue sebenernya kaget karena dia tiba-tiba menyandarkan kepalanya di sisi pundak kanan gue sambil ngomong kayak gitu, tapi untung gue nggak bereaksi berlebihan, sih.

Jadi yang kemudian gue lakukan adalah menolehkan kepala gue menghadap dia, walaupun nggak sepenuhnya menatap dia, tapi seenggaknya dia tahu gue menaruh perhatian pada konversasi kami berdua.

“Gua juga pas tau ngerasa tolol banget kok, Ste. I mean, kayak gak habis pikir aja kok ada yang bisa-bisanya nipu gua gini, padahal chance dia untuk berhasil itu sedikit banget. Kayak, aneh aja. Yang bego tuh dia apa gua sih sebenernya?”

Getaran pelan terasa di pundak gue, tanda bahwa gadis yang sedang bersandar sama gue lagi ketawa. Dan karena itu pula seulas senyum ikutan terbit di wajah lesu gue saat ini.

“Yang bego mah tetep kita sih Bri. Buktinya she made it to this far. Pinter dia berarti.” dia memainkan ujung rambutnya sambil tersenyum. Senyum yang seolah lagi ngasih tau dunia kalo dia itu payah. Senyum pasrah kalo kita lagi menerima sebuah kekalahan.

Dan karena gue benci liat dia keluarin ekspresi itu lagi, gue memilih buat langsung hilangin dia dari pandangan gue aja sekalian.

Tenang aja, bukan dibunuh kok.

“Gue rasa kita terlalu stress sampe bisa begini sih, Bri...” nafasnya sewaktu bicara tadi terasa hangat di dada gue. Di rengkuhan gue juga, gue bisa merasakan senyumnya. Ya ilah, kalo bukan di pensi gini sih udah gue makan ni orang.

Terima kasih untuk venue kali ini agak remang-remang di pojokkannya, kayak di tempat gue duduk ini contohnya. Tapi walaupun gitu, gue tau sih jelas pasti ada yang liat gue pelukan begini. Bodo dah.

“Gue pikir lo goblok, bakal percaya kalo Vivi itu Vina... EH—“ ucapannya terputus tiba-tiba dan tubuhnya menegang. “KOK DARI TADI LO SANTAI AJA SIH?”

Gue membelalakkan mata gue, “HAH APANYA YANG SANTAI?”

“GUE VIVI.”

“YA UDAH??? GUA BRIAN???”

“Hah? Ih bego, gue Vivi pacarbrian, anjir.”

“Ya....... Iya, gua Brian.... Kenapa sih lo kok heboh amat?” Gue kemudian menatap Vivi—atau Stefi—tepat di matanya, kemudian tersenyum jahil, “Gua udah tau kali, kalo lo Vivi. Lo pikir gua segoblok itu ya? Ini kenapa pada nganggep gua goblok gini sih.”

“Ya karena emang lo goblok.”

“Halah goblok juga lo tetep sayang kan?”

“Ya iya emang.”

“Si tolol, ngapain dijawab dah. Heran gua.” Gue mengalihkan pandangan gue jadi ke samping, berusaha menyembunyikan warna muka gue yang jelas udah semerah kepiting rebus sekarang.

“Lah kan lo nanya, setan.” Kemudian dia membuat jarak lagi di antara kami berdua, lalu melanjutkan, “Tapi serius deh... Berarti lo tau selama ini........ Hah....”

“Anjing—“ Lalu seketika itu juga tawa gue meledak dan membuat beberapa pasang mata jadi mencuri pandang ke arah kami.

“Jangan ketawa ih brengsek... Gue nanya beneran... Gue malu banget.”

Setelah tawa gue mereda barulah gue menjawab, “Lahhh ngapain malu? Lo gapake sempak? Pake kan? Santai aja kalo gitu. Anggep aja apa yang udah terjadi antara Vivi dan Brian itu ga ada.”

“Terus adanya apa?”

“Ya Stefi sama Brian lah anjir, pake nanya lagi lo.” Gue jadi agak sedikit ngegas. Geregetan soalnya.

“Emang gue mau sama lo?”

Pertanyaan itu lagi. Harusnya gue bisa jawab dengan gombalan buaya gue seperti biasa, tapi kok tiba-tiba lidah gue kelu aja gitu. Mungkin karena bias juga sih maksud kalimat dia barusan.

“Emang kenapa lo harus ga mau? Lagian enak kan banyak benefitnya kalo jadi pacar gua.”

Stefi melirik gue sekilas, “Kalo nyari banyak benefitnya mah mending cari fwb aja gue. Lagian gue lagi ga mau punya pacar juga kok.”

Oke... Ini serius berarti dia ga mau sama gua.

“Ya... Beda ga sih, Ste? Kan kalo sama gua ada status yang jelas... Status yang memperjelas kalo kita ini a thing, jadi ga bisa se ngasal fwb thingy gitu.”

Lagi-lagi, jarak antara gue dan dia jadi bertambah. Sekarang ekspresi yang sempat sirna tadi muncul kembali.

“Lo tau ga sih, Bri... Gue sebenernya sayang sama lo. Sayang sama lo pake banget. Gue fans berat lo—I was lying when I said gue cuma suka band lo dan lo in general, cause in fact, gue udah separah itu jatuh untuk lo. Bukan cuma sekedar suka aja.”

Gue masih nggak tau arah pembicaraan dia ke mana, tapi gue rasa gue tau ke mana ini akan bermuara.

Akhirnya ya bener aja, apa yang gue pikirin ternyata benar. Gue nggak terlalu memperhatikan apa yang dia katakan setelah kalimat ’bukan sekedar suka aja’ terdengar, tapi beberapa kalimat terakhir entah kenapa jadi terdengar sangat kencang di telinga gue.

“—tapi gue benci terikat di satu status tertentu, label tertentu, dan terjebak di satu orang tertentu. Gue benci. Jadi maaf kalau lo mau jadiin gue sebagai salah satu orang yang akan lo masukin di list orang yang akan lo sayang lalu juga lo tinggal—“

“—gue nggak bisa.”

Satu kalimat terakhir itu sangat kuat gemanya sampai gue pun tersadar kalau bukan Stefi yang kalah di sini. Tapi gue.