“Brian, stop. Please, I insist.” Gadis itu memohon sambil berbisik pelan, berharap laki-laki yang baru saja mendorong punggungnya ke dinding putih nan dingin itu mau mengabulkan pintanya, untuk berhenti sejenak dan menormalkan isi kepalanya.

Namun rengekan permohonannya itu rupanya hanya dianggap angin lalu oleh sang bassist. Hidung lancipnya serta bibir tipisnya masih ada di ceruk leher sang mangsa, masih menghisap, mengecup, menjilat, merasakan panas kulit gadis itu dengan alat pengecapnya sendiri.

Belum lagi tangannya yang bebas dibiarkan berkelana di atas kulit di bagian tubuhnya yang lain. Dan sialnya lagi, gadis itu menikmati.

Kepalanya terlempar ke belakang, tidak peduli akan sakitnya benturan yang baru saja kepalanya rasakan, yang ia pedulikan hanyalah nikmat yang semakin lama semakin ia kejar. Melengkungkan punggungnya, mendesahkan nama sang pemangsa di depannya, menjambak rambutnya pelan, rupanya ia suka sentuhan-sentuhan itu. Gawatnya lagi, rasa suka itu berganti jadi rasa mendamba, dan ia sendiri harusnya tahu bukan begini cara kerjanya.

Maka dari itu, ia berusaha menggunakan sisa-sisa saraf otaknya yang bekerja normal untuk melakukan sesuatu, sebelum semuanya terlambat.

“Br-Bri... Udah, ple—nghh—ase... Please stop... I have a fucking boyfriend and he’s your own band mate. Please—ahhh, shit. Bri udah please,”

Brian yang sedaritadi melakukan aktivitasnya dalam diam dan seakan-akan tuli atas segala permintaan gadis di kurungannya itu kini terdiam. Mata tajamnya menusuk pengelihatan gadis di depannya, nafasnya masih memburu, dan tubuhnya masih setia menghimpit dan mengurung si gadis tanpa ampun.

Hanya sekarang ini mulutnya mampu membuka dan berbicara, “Look. I don’t fucking care whether you have a boyfriend or not. All I care is you. All I ever care is only you, and it has always been you. Lo kayaknya emang gapernah mau liat gue, ya? Gue yang selalu bisa ada buat lo, gue yang selalu bisa terbangin lo ke langit ke tujuh, dan gue yang selalu bisa lo mintai pertolongan. Tapi kenapa setiap lo seneng lo lupain gue?”

Ada nada kesedihan di sana.

“Brian, lo itu terlalu baik-“

Bullshit.” Lelaki itu memotong kalimat si gadis, kemudian tangannya bergerak untuk membelai pipi gadisnya pelan. “Kalo emang gue baik, why wouldn’t you choose me? Hm?

“Ga bisa Bri... I love Jae.”

Sementara tangan kanannya membelai pipi gadis itu, kini tangan kirinya bergerak menuju leher jenjang si gadis, untuk kemudian mengeratkan cengkeramannya di sana. She loves to get choked up, and he knows it well.

I know you’re enjoying this. I know it. Now think of it again, you want me or nah? Just think about it, don’t mind the other else. If you want to keep me going, just kiss me on the lips. And if you don’t,” Brian menggantungkan kalimatnya, kemudian tersenyum miring dengan bibirnya yang kini sudah dilumat secara ganas oleh gadis di depannya.