Runtuh.
Setelah keempatnya pergi, akhirnya gadis itu runtuh. Gadis itu runtuh seluruhnya, jatuh bertumpu hanya pada kedua lutut rapuhnya dengan kedua telapak tangan halusnya saling berdampingan, kompak menutupi wajah pemiliknya.
Perih.
Lalu ditemani sayup-sayup suara Danilla Riyadi di lagu Berdistraksi, gadis itu akhirnya mebumpahkan tangisannya. Dengan air matanya yang terus mengalir deras, mulutnya belum berhenti merutuk dirinya sendiri. Kepalanya sesak akan penyesalan dan rasa malu, terlebih potongan kejadian lima menit lalu masih terputar jelas di sana.
Rasanya kalau boleh dan bisa, Devina lebih mau bertukar hidup dengan kucing kampung hitam yang dari tadi setia menungguinya di sebelah tempatnya duduk dari pada harus menanggung penyesalan sebesar ini.
Selain rasa sesal, ada rasa malu juga yang tak kalah besarnya. Penyesalan memang menggerogoti, tapi rasa malu lah yang mendominasi. Setengah dari dirinya mati rasa, setengahnya lagi masih setia menolak kenyataan bahwa selama ini sebenarnya dia lah yang perlahan merobek harga dirinya sendiri.
Seakan-akan tempurung kepalanya itu sekeras logam tungsten—logam terpadat di dunia—Devina terus menerus menjedotkan kepalanya ke pilar beton yang di sampingnya. Bahkan mungkin kepalanya bisa bocor di detik itu juga jika tidak ada tangan yang mengganjal kepalanya di sana.
“Bego! Lo mau ngapain sih, anjrit?” Hardik si empunya tangan, lengkap dengan pelototan matanya. Tangannya lalu spontan menarik Devina untuk bangkit berdiri untuk segera menjauhi dari tempat ia duduk tadi.
“Lo... Ng-ngapain di sini...”
“Lo lap dulu nih ingus lo. Jorok.” Devina tadinya kebingungan, tapi akhirnya diambil juga sapu tangan biru yang diserahkan laki-laki di depannya itu.
“Lo balik bareng gua. Cepet kalo mau nangis, nangis aja dulu. Gua tungguin di ujung sana,” katanya sambil menunjuk space kosong yang agak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. “Oke... Makasih ya Bum.”
“Iya sama-sama. Makanya jadi cewek jangan bego-bego amat, gini kan jadinya.”
“Kok lo masih mau nganter gue balik... Gue udah jahat sama adek lo, sama temen lo juga...”
Jentera kemudian menaikkan sebelah alisnya, “Ya terus kalo lo jahat, gua juga harus jahat? Kan enggak. Lagian gua cuma mau anter lo balik doang, bukan maafin lo.”
“Oh iya... Oke...”
“Ga usah geer jadi orang.”
“Iya...”
“Ga usah nangis lagi.”
“...”