Wondering.

Senyap saat ini masih mengisi ruang di antara Brian dan Stefani. Keduanya masih terdiam dengan ponsel di tangan masing-masing, berusaha tenggelam di dunia yang lain setelah ‘insiden’ pertemuan bibir mereka beberapa menit silam.

Agaknya, keduanya masih belum mampu untuk bertatapan langsung dulu untuk sekarang ini, walaupun juga, sekarang kata jarak jadi semakin asing di kamus mereka berdua.

“Ste, ngomong dong. Jangan diem doang...”

Brian menyerah. Diletakannya ponsel hitam kesayangannya di lantai kosong sebelah kanannya dan tangan kirinya mulai memainkan helaian anak rambut milik gadis yang sekarang sedang ada di rangkulannya, bersender di pundak kirinya.

“Lah kenapa? Enak kok diem-dieman gini.” Stefani mengerjap, kemudian melanjutkan, “Pernah denger gak, there’s a saying that states ‘sometimes silence is much better than talking. At least it don’t hurt.’?”

Brian memperhatikan Stefani dari samping dengan tangan kirinya terus aktif menelusuri surai coklat kehitaman milik si gadis. “Ya gimana, gua ga terbiasa sama suasana kosong kayak gini, Ste. Ga tau ya, I just feel embarrassed whenever the silence comes.”

”God, why should we be embarrassed by silence?” Stefani yang kebingungan sedikit memajukan badannya, yang secara tidak langsung juga berarti melepas rangkulan tangan Brian di pundaknya.

“What comfort do we find in all the noises?”

Brian menatap Stefani dalam diam, kemudian di detik berikutnya ia berujar pelan, “At least with noise, I can hear your voice inflections,” Lalu terdapat hening yang terkesan menuntut di sana, sebelum Brian kembali melanjutkan, “When it’s silent, I’m left wondering.”

“I will not leave you wondering in silence, Bri. That’s not how the silence works.”

Brian tersenyum, ”I’m glad that to hear that. Tapi kalo boleh request, ya jangan diemin gua...”

“Ya udah, nih ga diem-diem lagi. Emang mau ngomongin apa?”

“Ngomongin apa aja. Yang tadi misalnya?”

“Yang tadi?”

Brian mengangguk sambil menyunggingkan senyum, “Iya. Yang tadi.” Kemudian tangan kirinya menarik kembali punggung calon gadisnya dengan lembut, lalu kemudian menyandarkan punggung kecil itu di pundaknya.

Stefani selalu suka. Stefani selalu suka sentuhan dan pergerakan kecil yang Brian lakukan kepadanya. Stefani suka rasanya diperlakukan sebagai seorang perempuan oleh Brian. Stefani suka semua kata-kata manis yang meluncur dari bibir manis Brian. Intinya, Stefani suka Brian.

“Yang tadi kenapa, Bri?” Stefani yang kini ada di pundak kiri Brian terpaksa harus mendongak sedikit ke atas untuk bisa melihat Brian-nya yang sedang tersenyum.

“Nggak... Gua bingung aja. Kok lo bolehin gua cium lo gitu aja? I mean, biasanya kan perempuan selalu jaga jarak dan ‘jaga diri’ buat nggak asal cium orang...”

“Tapi gue nggak ngasal? I did it with a lot of considerations, Bri. Itu bukan insiden, bukan juga hal yang dikontrol sama nafsu atau sesuatu yang bukan dari dalam diri gue. Gue emang pengen ciuman sama lo, jadi buat apa gue nahan-nahan cuma buat ’jaga diri’ kayak apa yang lo bilang tadi?”

Brian melotot, “Anjir. Lo kalo ngomong pake bismillah dulu dong. Masa tiba-tiba bilang pengen ciuman sama gua...”

“Ya emang gue pengen ciuman sama lo, anjir... Salah gue lagi nih?” Stefani mendelik, kemudian pucuk kepalanya diacak pelan oleh laki-laki di sebelahnya.

“Nggaaaak, nggak. Nggak salah, cewe gua mana pernah salah.”

Tapi ada satu hal yang Brian tidak ketahui, kalau di bawah sana, ekspresi si gadis berubah setelah dia menyebutkan kalimat empat suku kata itu.

Cewek gua.

“Hahaha... Iya, makasih ya udah ngertiin gue,” Stefani menghela nafas pelan sebelum melanjutkan, “Tapi sejak kapan gue jadi cewek lo... Emang siapa yang bilang gue mau?”

“...”

”Nevermind. Bercanda kok gue.”

“Emang lo beneran nggak mau?”

“Gue nggak pernah bilang kalo gue nggak mau, Bri.”

“Terus gimanaaa? Hm? Jelasin coba,” Brian menenggelamkan hidung lancipnya di pucuk kepala Stefani, menghirup aroma segar campuran jeruk dan lavender dari shampoo L’Occitane kebanggan gadis itu.

“Menurut lo label di satu hubungan itu penting nggak, Bri?” Alih-alih menjawab, Stefani malah balik bertanya.

“Menurut gua ya...” Brian menghentikan sejenak acara ‘usel-uselan’nya untuk kemudian menjawab pertanyaan Stefani yang ditujukan untuknya. “Menurut gua penting. Labels are quite matter in relationship, I guess.”

”Is it that crucial to you? And why?”

Brian mengangguk, “Menurut gua emang terlalu kompleks sih kalo mau ngomongin level krusialnya sebuah label di satu hubungan. But for me, it does matter.”

“Why is it so?”

“Basically, because labels help you know what type of relationship you're getting yourself into. It also gives you levels. Also, in my view, labels help you understand the level and type of relationship you're in... That’s why.”

“But things will go smoothly as well as if we don’t put labels on us, right? Is it really THAT matters?”

“Yes, it will. But the unlabelled relationships might not last longer than the labelled ones. And the unlabelled ones have a tendency to remain open ended. You need to be clear about what are you putting in it and what do you expect from it... Menurut gua begitu.”

“...”

“Labels are important because they solidify obligations, for example, if you’re dating without a label, there are no rules the person doesn’t owe you any loyalty. Itu terlalu susah buat gua, dan gua yakin lo pun juga akan begitu Ste.”

Sementara Brian masih berusaha menjelaskan dengan setenang yang dia bisa, Stefani di sana justru jadi semakin gelisah.

Ibu jari dan telunjuk kanannya memilin ujung kaos putih yang ia kenakan, pikirannya mulai menjelajah banyak ruang sampai akhirnya suara Brian kembali menyapa indra pendengarannya, lengkap dengan telapak tangan kanan besarnya yang sekarang menggenggam tangan kanan Stefani.

“A relationship without a label will lead you to confusions, expectations, sorrows, even heartbreaks.”

Genggaman dan rentetan kalimat itu secara tidak kasat mata mampu membawa ketenangan, juga ketakutan tersendiri bagi si gadis.

“Ini jawaban soal pertanyaan gua di awal tadi ya?” Tanya Brian setelah keduanya melalui keheningan yang cukup panjang.

“Hah? Yang mana?”

“Yang... Emang lo beneran nggak mau sama gua?” Brian meneliti dari samping fitur wajah Stefani sambil mengusapkan ibu jarinya di punggung tangan gadisnya. “Yang itu.”

Dua menit,

Lima menit,

Sepuluh menit,

Nihil. Tidak ada respon dari Stefani.

“This is why I hate silence.”

“Bri,” panggil Stefani sekian detik kemudian.

“Hm?”

“I’m sorry for left you wondering.”