dulcetsix.

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, masalahnya emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang simple dan ga ribet kayak cewe lainnya. At least sejauh ini.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas— and since then, I promise myself I have to come here more often just to listen to every single words that come out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire and the urge to brush her lips with mine. I can’t hold it no more, and I hate it so much cause I know I will never be able to make it real.

Mata gue bertemu dengan mata coklatnya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu sebatas menatap bibirnya aja.

Dia kemudian tersenyum dengan pandangannya tetap melekat pada mata gue. Cantik banget. Sumpah cantik banget.

Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi, lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, masalahnya emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang simple dan ga ribet kayak cewe lainnya. At least sejauh ini.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, masalahnya emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang tergolong ekstrim kelakuannya.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, masalahnya emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang tergolong ekstrim tindakannya.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang tergolong ekstrim tindakannya.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’_ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me_ ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang tergolong ekstrim tindakannya.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

#

“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.

Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.

“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.

“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”

“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”

”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’_ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me_ ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”

Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.

Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.

”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”

Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.


Brian.

Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang tergolong ekstrim tindakannya.

Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.

Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas and since then I promise myself, I have to come here more often just to listen to every single words that came out of her mouth.

Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.

Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.

I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.

Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.

Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.

”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”

Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”

Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”

Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.

Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.

Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire, the urge, the yearning to crash my lips on hers. I can’t. Not anymore. And I hate it so much here.

Mata gue bertemu dengan matanya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu menatap bibir merah mudanya. Dia tersenyum, cantik banget. Sumpah cantik banget. Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi. Lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.

I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...

She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”

Stefi.

Nggak pernah barang sedetikpun dalam hidup gue, gue membayangkan diri gue duduk manis di sebelah Brian Kusumawardani di dalam mobil Fortuner hitam kesayangannya, dengan puntung rokok di masing-masing jemari memanjang.

Tapi nyatanya di sinilah gue berada. Duduk di sebelah Brian dengan jari telunjuk dan tengah kiri gue diselipkan rokok garpit kesayangan gue—yang kata dia rokok kuli—sambil sesekali ikut menyanyikan lagu yang diputar melalui radio mobilnya, ya kadang teriak juga, sih.

Beraneka ragam kata kotor keluar bergantian dari mulut Brian dan gue, diikuti gelak tawa yang kerasnya ngalah-ngalahin bunyi knalpot racing modifikasi mamang mamang jamet.

Jakarta – Bogor Brian tempuh dalam waktu dua jam, padahal kurang dari itu sebenarnya bisa banget. Dasar aja, kayaknya kita memang butuh ini.

Butuh penyegaran ini setelah kepala disesal banyak angka dan materi perkuliahan. Belum lagi masalah pribadi Brian yang kayaknya udah nggak bisa ditolerir lagi, I’m sure he’s more than need to having this kind of moment.

“Tadi toge gorengnya menurut lo gimana, Ste?”

Seketika otak gue kembali memutar momen satu jam lalu, di mana gue dibuat depresi sendiri sama kelakuan cowok di sebelah gue ini.

“Woi, kok malah bengong, anjir.” Lambaian tangan Brian di depan muka gue menyadarkan gue dari lamunan gue.

“Enak. Tapi so-so lah, gue kira se-epik apa rasanya. Terkenal banget kan tuh tempat.” Respon gue.

Tadi gue dan Brian sempat kebingungan harus sarapan apa di jam setengah sembilan pagi. Padahal maksud gue bangunin dia lebih pagi hari ini tuh biar sampai Bogor agak pagian dikit, tapi karena dia nyetirnya sambil nikmatin hidup, jadi sampai nya tetep jam setengah sembilan juga.

Terus pas lewat Bogor Junction, dia dengan gobloknya ngerem mendadak dan langsung putar balik dan parkir di salah satu warung makan yang agak ramai. Toge goreng Haji Omah namanya.

“Eh, jangan salah lo, Ste. Itu tuh legend banget anjir, langganan orang istana. Dulu 2017 pernah diundang ke istana sama Pak Jokowi, terus dari zaman Pak SBY juga udah jadi langganan tuh toge gorengnya mereka.”

Gue jadi ketawa. Dia kenapa kedengaran kayak salesman toge goreng gini, sih.

“Ya gimana, Bri? Gue malah mikir toge goreng itu toge digoreng, nggak taunya bukan anjir. Penipuan.” Jawab gue yang lalu disambut kekehan ringan dari si Mas Bassist.

“Kasian banget sih lo, masa udah setua ini baru sekali ini nyoba toge goreng?”

Gue menaikkan pundak singkat, “Ya, gitu. Lagian gue juga anaknya emang nggak pernah makan yang macem-macem. Itu-itu doang variasi makanan gue.”

“Makanya, sering-sering jalan sama gua. Ntar gua ajakin keliling Indonesia biar lo cobain beragam makanan khas daerah, deh.”

Waduh, alus banget, Mas?

Gue cuma bisa gelengin kepala aja sebagai respon terhadap kata-katanya barusan, sementara dia di sebelah gue kelihatan lagi heboh banget jamming lagu yang lagi diputar dari playlist spotifynya.

“I WANT TO BREATHE YOU IN LIKE YOUR VAPOUR, I WANT TO BE THE ONE YOU REMEMBER. I WANT TO FEEL YOUR LOVE LIKE THE WEATHER, ALL OVER ME, ALL OVER ME.”

Secara tiba-tiba, kuping gue dikejutkan oleh teriakan nggak tau dirinya. Untung ya, suara dia tuh enak banget didengernya. Untung juga dia idola gue. Kalau nggak sih jelas aja kotak pensil besi gue pasti udah mendarat manis di jidatnya sekarang.

”You sound so sweet, when you lie to me. Make you sound so sweet when you lie to me...” Kini giliran gue untuk menyanyikan bagian bridge yang aslinya dinyanyiin pacar khayalan ke dua gue, Luke Hemmings.

Hening hinggap untuk sesaat di antara kami berdua. Cuma ada sisa lagu yang terdengar sebagai ganti absennya percakapan di antara kami.

Entah kenapa, baik gue maupun Brian jadi mendadak terdiam, terkesan nggak menikmati lagu ini. Padahal sebelumnya kami sama-sama heboh.

Dan setelah outro terdengar dan lagu Vapor milik 5SOS resmi berakhir, Brian menatap gue dari balik kemudinya.

“Gue nggak lagi bohong, anyway.

O...ke...

Nggak pernah barang sedetikpun dalam hidup gue, gue membayangkan diri gue akan duduk manis di sebelah Brian Kusumawardanj di dalam mobil Fortuner hitam kesayangannya, dengan puntung rokok di masing-masing jemari memanjang.

Tapi nyatanya di sinilah gue berada. Duduk di sebelah Brian dengan jari telunjuk dan tengah kiri gue diselipkan rokok garpit kesayangan gue—yang kata dia rokok kuli—sambil sesekali ikut menyanyikan lagu yang diputar melalui radio mobilnya, ya kadang teriak juga, sih.

Beraneka ragam kata kotor keluar bergantian dari mulut Brian dan gue, diikuti gelak tawa yang kerasnya ngalah-ngalahin bunyi knalpot racing modifikasi mamang mamang jamet.

Jakarta – Bogor ditempuh dalam waktu dua jam, padahal kurang dari itu sebenarnya bisa banget. Dasar aja, kayaknya kita memang butuh ini.

Butuh penyegaran ini setelah kepala disesal banyak angka dan materi perkuliahan. Belum lagi masalah pribadi Brian yang kayaknya udah nggak bisa ditolerir lagi, I’m sure he’s more than need to having this kind of moment.

“Tadi toge gorengnya menurut lo gimana, Ste?”

Seketika otak gue kembali memutar momen satu jam lalu, di mana gue dibuat depresi sendiri sama kelakuan cowok di sebelah gue ini.

“Woi, kok malah bengong, anjir.” Lambaian tangan Brian di depan muka gue menyadarkan gue dari lamunan gue.

“Enak. Tapi so-so lah, gue kira se-epik apa rasanya. Terkenal banget kan tuh tempat.” Respon gue.

Tadi gue dan Brian sempat kebingungan harus sarapan apa di jam setengah sembilan pagi. Padahal maksud gue bangunin dia lebih pagi hari ini tuh biar sampai Bogor agak pagian dikit, tapi karena dia nyetirnya sambil nikmatin hidup, jadi sampai nya tetep jam setengah sembilan juga.

Terus pas lewat Bogor Junction, dia dengan gobloknya ngerem mendadak dan langsung putar balik dan parkir di salah satu warung makan yang agak ramai. Toge goreng Haji Omah namanya.

“Eh, jangan salah lo, Ste. Itu tuh legend banget anjir, langganan orang istana. Dulu 2017 pernah diundang ke istana sama Pak Jokowi, terus dari zaman Pak SBY juga udah jadi langganan tuh toge gorengnya mereka.”

Gue jadi ketawa. Dia kenapa kedengaran kayak salesman toge goreng gini, sih.

“Ya gimana, Bri? Gue malah mikir toge goreng itu toge digoreng, nggak taunya bukan anjir. Penipuan.” Jawab gue yang lalu memperoleh kekehan ringan dari si Mas Bassist.

“Kasian banget sih lo, masa udah setua ini baru sekali ini nyoba toge goreng?”

Gue menaikkan pundak singkat, “Ya, gitu. Lagian gue juga anaknya emang nggak pernah makan yang macem-macem. Itu-itu doang variasi makanan gue.”

Lalu dengan kepala yang mengangguk-angguk mengikuti beat drum yang terdengar dari lagu yang lagi diputar lewat playlist spotifynya.

“I WANT TO BREATHE YOU IN LIKE YOUR VAPOUR, I WANT TO BE THE ONE YOU REMEMBER. I WANT TO FEEL YOUR LOVE LIKE THE WEATHER, ALL OVER ME, ALL OVER ME.”

Secara tiba-tiba, kuping gue dikejutkan oleb teriakan nggak tau dirinya, untung ya, suara dia tuh enak banget didengernya. Untung juga dia idola gue. Kalau nggak sih jelas aja kotak pensil besi gue pasti udah hinggap di jidatnya sekarang.

”You sound so sweet, when you lie to me. Make you sound so sweet when you lie to me...” Kini giliran gue untuk menyanyikan bagian bridge yang aslinya dinyanyiin pacar khayalan ke dua gue, Luke Hemmings.

Hening hinggap untuk sesaat di antara kami berdua. Cuma ada sisa lagu yang terdengar berkumandang, tapi entah kenapa, baik gue maupun Brian jadi terdiam, terkesan nggak menikmati lagu ini. Padahal sebelumnya Brian sampai manggut-manggut saking enaknya ini lagu.

Dan setelah outro terdengar dan lagu Vapornya 5SOS resmi berakhir, Brian menatap gue dari balik kemudinya.

“Gue nggak lagi bohong, anyway.

Hah, bohong apaan sih?

Nggak pernah barang sedetikpun dalam hidup gue, gue membayangkan diri gue akan duduk manis di sebelah Brian Kusumawardanj di dalam mobil Fortuner hitam kesayangannya, dengan puntung rokok di masing-masing jemari memanjang.

Tapi nyatanya di sinilah gue berada. Duduk di sebelah Brian dengan jari telunjuk dan tengah kiri gue diselipkan rokok garpit kesayangan gue—yang kata dia rokok kuli—sambil sesekali ikut menyanyikan lagu yang diputar melalui radio mobilnya, ya kadang teriak juga, sih.

Beraneka ragam kata kotor keluar bergantian dari mulut Brian dan gue, diikuti gelak tawa yang kerasnya ngalah-ngalahin bunyi knalpot racing modifikasi mamang mamang jamet.

Jakarta – Bogor ditempuh dalam waktu dua jam, padahal kurang dari itu sebenarnya bisa banget. Dasar aja, kayaknya kita memang butuh ini.

Butuh penyegaran ini setelah kepala disesal banyak angka dan materi perkuliahan. Belum lagi masalah pribadi Brian yang kayaknya udah nggak bisa ditolerir lagi, I’m sure he’s more than need to having this kind of moment.

“Tadi toge gorengnya menurut lo gimana, Ste?”

Seketika otak gue kembali memutar momen satu jam lalu, di mana gue dibuat depresi sendiri sama kelakuan cowok di sebelah gue ini.

“Woi, kok malah bengong, anjir.” Lambaian tangan Brian di depan muka gue menyadarkan gue dari lamunan gue.

“Enak. Tapi so-so lah, gue kira se-epik apa rasanya. Terkenal banget kan tuh tempat.” Respon gue.

Tadi gue dan Brian sempat kebingungan harus sarapan apa di jam setengah sembilan pagi. Padahal maksud gue bangunin dia lebih pagi hari ini tuh biar sampai Bogor agak pagian dikit, tapi karena dia nyetirnya sambil nikmatin hidup, jadi sampai nya tetep jam setengah sembilan juga.

Terus pas lewat Bogor Junction, dia dengan gobloknya ngerem mendadak dan langsung putar balik dan parkir di salah satu warung makan yang agak ramai. Toge goreng Haji Omah namanya.

“Eh, jangan salah lo, Ste. Itu tuh legend banget anjir, langganan orang istana. Dulu 2017 pernah diundang ke istana sama Pak Jokowi, terus dari zaman Pak SBY juga udah jadi langganan tuh toge gorengnya mereka.”

Gue jadi ketawa. Dia kenapa kedengaran kayak salesman toge goreng gini, sih.

“Ya gimana, Bri? Gue malah mikir toge goreng itu toge digoreng, nggak taunya bukan anjir. Penipuan.” Jawab gue yang lalu memperoleh kekehan ringan dari si Mas Bassist.

“Kasian banget sih lo, masa udah setua ini baru sekali ini nyoba toge goreng?”

Gue menaikkan pundak singkat, “Ya, gitu. Lagian gue juga anaknya emang nggak pernah makan yang macem-macem. Itu-itu doang variasi makanan gue.”

Lalu dengan kepala yang mengangguk-angguk mengikuti beat drum yang terdengar dari lagu yang lagi diputar lewat playlist spotifynya.

“I WANT TO BREATHE YOU IN LIKE YOUR VAPOUR, I WANT TO BE THE ONE YOU REMEMBER. I WANT TO FEEL YOUR LOVE LIKE THE WEATHER, ALL OVER ME, ALL OVER ME.”

Secara tiba-tiba, kuping gue dikejutkan oleb teriakan nggak tau dirinya, untung ya, suara dia tuh enak banget didengernya. Untung juga dia idola gue. Kalau nggak sih jelas aja kotak pensil besi gue pasti udah hinggap di jidatnya sekarang.

”You sound so sweet, when you lie to me. Make you sound so sweet when you lie to me...” Kini giliran gue untuk menyanyikan bagian bridge yang aslinya dinyanyiin pacar khayalan ke dua gue, Luke Hemmings.

Hening hinggap untuk sesaat di antara kami berdua. Cuma ada sisa lagu yang terdengar berkumandang, tapi entah kenapa, baik gue maupun Brian jadi terdiam, terkesan nggak menikmati lagu ini. Padahal sebelumnya Brian sampai manggut-manggut saking enaknya ini lagu.

Dan setelah outro terdengar dan lagu Vapornya 5SOS resmi berakhir, Brian menatap gue dari balik kemudinya.

“Gue nggak lagi bohong, anyway.

Hah, bohong apaan sih?