Indomie.
“Gue pikir lo mau ngapain ke sini. Ga taunya malah minta makan, hadehhh.” Stefi berkata sambil setengah memutar bola matanya jengah. Matanya masih menatap Brian yang sekarang lagi mencoba menghabiskan seluruh stok mi instan di apartemennya.
Brian melirik Stefi sebentar, sebelum akhirnya ia menyingkirkan piring yang sudah kosong itu di samping kirinya.
“Ya gimana, namanya juga laper, Ste. Ikhlas kan nih, indomienya gua abisin? ” Tanyanya sambil menatap Stefi yang agaknya ogah-ogahan dengan kehadiran Brian di sini.
“Ya ikhlas, siapa juga yang bilang ga ikhlas. Masalahnya lo bikin gue jantungan.”
“Gua ga ngapa-ngapain, anjir?”
”You told me you have a sudden urge to kiss me? And I said ‘ke sini aja’ AS A JOKE and twenty minutes later you texted me ‘gua udah di lobby’, dan lo bilang lo ga ngapa-ngapain? Lo pikir aja sendiri tuh gimana.”
Setelah rentetan kalimat yang lebih mirip sama omelan itu keluar dari bibir Stefi, Brian terkekeh kecil. “Ya... Yang itu juga mau sih gua, masalahnya emang lo beneran mau gua cium?” Tanyanya sambil tersenyum, kemudian berdiri untuk mencuci piring yang ia pakai makan barusan.
Tiga menit berlalu, setelah Brian selesai mencuci piring dan alat makannya yang lain, ia pikir Stefi udah beranjak dari tempat duduknya di meja makan, tapi ternyata belum.
”Only if mulut lo udah ga bau indomie and your hands ga bau Sunlight lagi.”
Dan dengan itu Stefi beranjak pergi, meninggalkan Brian yang masih berusaha mencerna kata-kata gadis itu dengan ekspresi penuh tanya.
Brian.
Gue ga pernah tau kalo ternyata cewek yang dari dulu selalu gue anggep musuh ini adalah cewek yang simple dan ga ribet kayak cewe lainnya. At least sejauh ini.
Sejauh ini menurut gue Stefi itu anaknya simple banget. Apa ya, ya menurut gue dia anaknya straight forward aja gitu. Dia ga suka ya dia bilang, dia suka juga dia bilang dan selain itu masih ada banyak hal-hal lainnya yang ga pernah gagal bikin gue kagum sama dia.
Kayak dari tadi aja deh, kita berdua udah mau dua jam terduduk di balkon apartemennya sambil stargazing ala-ala (soalnya langit Jakarta butek, bintangnya males mau keluar) dan sebat ditemenin lagu-lagu yang gue puter lewat speaker bluetooth Marshallnya, dia selalu aja punya topik menarik buat dibahas— and since then, I promise myself I have to come here more often just to listen to every single words that come out of her mouth.
Menurut gue juga, selain sifatnya yang ga neko-neko, selera musik Stefi patut diacungi jempol.
Eh, don’t get me wrong, ya. Gue bukannya mau mengkotak-kotakan orang berdasarkan selera musiknya, tapi jujur aja kalo ketemu seseorang yang nyambung dan sefrekuensi sama gue soal urusan musik, gue sih bakal seneng banget. Dan amazed banget.
I wanna be your vacuum cleaner, breathing in your dust, I wanna be your Ford Cartina, I will never rust.
Sekarang ini lagu Arctic Monkeys kesukaan sejuta umat ke dua setelah Why’d You Only Call Me When You’re High lagi diputar.
Sebenernya kalo dipikir-pikir, kayaknya gue agak relate sih sama nih lagu dah.
”Secrets I have held in my heart are harder to hide than I thought,” mata gue kemudian diarahkan ke cewek di sebelah gue, yang sekarang juga lagi merhatiin gue nyanyiin lagu ini. “Maybe I just wanna be yours, I wanna be yours, I wanna be yours...”
Gue tersenyum sebelum melanjutkan nyanyian gue ke bagian chorus, “Wanna be yours, wanna be yours... Wanna be yours...”
Masih dengan suara Alex Turner mengalun sebagai latar belakang, gue mulai mendekat ke arah Stefi. She smells like— anjir, bahkan gue kehabisan kata buat deskripsiinnya. Mungkin kalo boleh mengutip kata-kata Nikkie tentang wanginya Rihanna sehabis meluk dia waktu Fenty Beauty Event beberapa waktu lalu, gue akan bilang, “She smells like heaven.”
Jarak antara gue dan Stefi tadinya memang ga terlalu jauh, karena kami pun duduk di lantai balkon bersebelahan. Bahkan satu jengkal pun ga ada.
Tapi sekarang, waktu tangan kiri gue jadi tumpuan di samping dan tangan kanan gue melintasi badan kecilnya, gue baru sadar bahwa sekarang jarak yang tercipta justru jadi terlalu dekat.
Tapi, sumpah salahin aja lagunya Om Alex yang bikin gue pengen melakukan yang enggak-enggak, sekarang I can’t hold the desire anymore. The desire and the urge to brush her lips with mine. I can’t hold it no more, and I hate it so much cause I know I will never be able to make it real.
Mata gue bertemu dengan mata coklatnya, setelah sekian detik lamanya cuma mampu sebatas menatap bibirnya aja.
Dia kemudian tersenyum dengan pandangannya tetap melekat pada mata gue. Cantik banget. Sumpah cantik banget.
Kemudian tangannya bergerak buat menyisir rambut gue yang sedikit berantakan karena harus lari-lari ngejar lift yang nyaris ketutup tadi, lalu gerakan selanjutnya bikin gue nyaris lompat dari tempat gue duduk sekarang ini.
I wanna be yours, I wanna be yours... Wanna be yours, wanna be yours...
She leans her face closer to mine, and when I thought she was gonna kiss me, her lips are placed in front of my reddened ear. Then she let out a whisper, “Wangi Indomienya udah ganti jadi wangi Marlboro, kok masih belum maju dari tadi?”