Harga yang harus dibayar.
“Jadi lo si username pacarbrian di twitter?”
“Iya... Hehe.”
“Lah gua emang ngomong sama lo?” Brian tersenyum miring, kemudian melemparkan pandangannya ke dua orang yang berdiri agak jauh di belakang Vina dan Ela, yang dari tadi pula jadi penonton setia aksi unjuk kebodohan mereka berdua. “Gua ngomong ama yang di belakang, jangan geer. Lagian lo ngapain dah di sini? Diajak siapa lo?”
Serentetan pertanyaan yang malah terdengar seperti cemoohan itu membuat Ela dan si gadis jaket kulit mematung.
“Maksud lo gimana, Bri? Gue Vivi,” Devina masih berusaha keras, walaupun sedikit ia sadari, sebenarnya kekalahan telak sudah menyambutnya di depan mata.
“Lo kan nyuruh gue pake jaket kulit pas pensi kan? Ini gue, emang yang lo maksud siapa lagi?”
Brian mendecih pelan, “Tch,” Bola matanya memutar ke atas diikuti dengan kekehan kecil di detik yang selanjutnya. “Haha. Lo mau goblokin gua sampe sejauh mana, Vin?”
“Gue ga ngerti, Bri.”
“Alah, drama lo. Gue tau lo ngerti. Gue juga tau lo selicik ini, Vin.” Brian kemudian menatap Ela yang masih bungkam di sebelah Vina, lalu bertanya, “Udah sejauh apa dia nipu kamu, La?”
“Yan, ini gimana sih...”
“Tanya tuh, temen kamu.”
Ela kemudian menatap Vina dalam diam, namun tatapan matanya sirat akan kekecewaan. Dia belum setolol itu untuk nggak menyadari apa yang sedang terjadi di sini.
“La... Maksud gue—“
”Don’t believe any single words she says, La. She had enough to deceived and tricked you. Just don’t trust her anymore. Do not trust anything that come out of her mouth.” Brian memotong kalimat Vina dengan kalimat yang cukup menampar, menyebabkan satu di antara dua orang penonton di belakang akhirnya buka suara.
“Hebat lo ya, udah berani nipu adek gua. Keren lo. Salut gua,” Jebum akhirnya memilih untuk maju menghampiri Vina yang saat ini masih terdiam.
“Lo merasa cukup dengan informasi yang selama ini di share Ela? Iya Vin? Sampe lo bisa seberani itu nipu gua dan Ela selama ini? Lo ngapain dah?”
“Vin, lo tuh ngerasa pinter banget ya selama ini? Lo sadar ga sih sebenernya lo goblok banget?” Jebum menambahkan tensi di antara mereka berlima dengan pertanyaannya yang menohok barusan.
“Apaan deh lo?”
“Apaan? Lo tuh yang apaan! Lo ngotak dikit dong jadi orang. Adek gua ga salah apa-apa, ga seharusnya lo bohongin sampe kayak gini. Adek gua tulus mau bantu Brian bahagia, walaupun itu artinya dia harus korbanin kebahaiaannya sendiri. Tapi lo dengan ga punya otaknya malah giniin dia. Gila lo.”
“Gua paling benci dibohongin dan benci terlihat goblok. Dan selamat, lo berhasil bikin gua rasain keduanya.” Brian menghela nafas, “Gua ga ngerti apa yang ada di kepala lo selama ini. Serius.”
“Seneng, Vin? Seneng udah jadi Vivi di mata Ela selama ini? Seneng kan lo pasti? Lo kan suka banget tuh ikut-ikut gue, sampe losing youw own identity.” Akhirnya Stefani maju dan ikut ambil bagian. Suaranya tenang tapi menusuk, membuat si lawan bicara langsung tertunduk dalam.
“Lo udah ambil semuanya dari gue, Stef. Gue selalu jadi yang ke dua. Lo ambil semua di posisi pertama. Lo tau? Gue muak.”
“Ya ga lo doang kali. Hey, yang hidup di dunia ini bukan cuma lo seorang, ga usah drama. Lo pikir gue ga muak liat lo terus-terusan ikutin apa yang gue bikin, apa yang gue pake, apa yang gue post? Semua lo ikutin, lo pikir gue ga MUAK?”
“Ya seharusnya lo bangga dong, lo jadi trendsetter?”
Stefani menarik nafas dalam-dalam, mencoba bersabar.
“Gue ga pernah minta buat dijadiin trendsetter. Gue benci diikutin dan lo tau persis itu.”
Vina masih terdiam, sementara Stefani sudah merasa cukup untuk berada di sini. Kalau dibiarkan lebih lama lagi rasa-rasanya dia bisa meledak dan jadi tak terkendali.
Jadi di ujung dia berkata, “Ya udah, ambil deh ambil. Ambil semua dari hidup gue yang lo pengen milikin. Lo mau Brian? Ambil gih, tuh anaknya masih napas di depan lo. Gandeng sana, bawa pulang.”
Tapi bahkan belum sempat Vina membuka mulutnya, Brian sudah memotong kalimatnya.
“Mending gue HTSan sama lo sampe tua dari pada mesti jadian sama penipu. Ga punya malu.”
Brian kemudian berjalan menuju tempat Stefani berdiri, kemudian tangannya menarik si gadis pergi. Tapi sebelum dia benar-benar membawa Stefani pergi dari sana, dia berkata,
“Karena gua baik, gua anggep kejadian ini nggak pernah terjadi dan gua anggep gua gapernah kenal sama lo, Devina. Tapi kalo lo masih mau berulah, sorry, ada harga yang harus lo bayar nantinya. Gua duluan.”